menanggapi tentang hari gizi 250111 (by cornelia juwita cintya dewi)

Menanggapi tentang hari gizi

Sore tadi saya mendengar  berita di televisi mengenai gizi buruk anak di Indonesia. Miris sekali rasanya mendengar prosentase anak berusia di bawah lima tahun yang harapan hidupnya sangat rendah. Masih ada sekitar 18 persen anak di Indonesia yang menderita gizi buruk. Empat dari seratus anak Indonesia usianya tidak mencapai lima tahun. Sejenak saya tertegun mendengar berita tersebut. Saya mendengar celotehan teman saya yang mengatakan, “selain alam, budaya, dan seninya, saya malu dengan Indonesia.” Saya hanya tersenyum kecut mendengar kata-katanya. Kurang setuju rasanya sebenarnya. Namun jika diurutkan semua kejadian yang menimpa Indonesia akhir-akhir ini benar juga kata-kata teman saya tersebut. “Saya malu dengan Indonesia.”
Keadaan di Indonesia akhir-akhir ini memang carut marut. Urusan ekonomi dan politik jungkir balik tak karuan. Mulai dari harga cabai yang menanjak drastis (sampai berita terakhir yang saya baca hari ini: harga cabai rawit di depok mencapai Rp 120.000,00 per kilogram). Ini adalah sebuah tanda tanya besar di Negara yang berlabel agraris. Dan letak keanehan yang lain adalah para petani cabai tidak merasakan keuntungan dari kenaikan harga tersebut. Para petani di Jawa Tengah contohnya, mereka menjual cabai tidak lebih dari Rp 50.000,00 per kilogramnya. Jika memang jumlah permintaan menanjak hebat dan perkara musim yang tidak teratur yang disalahkan, mengapa tak sedikit pun petani merasakan dampak kenaikan harga cabe?
Korban merapi yang berjatuhan pulalah yang menyumbang ‘aset’ masalah cukup besar di Indonesia. Banjir lahar yang melanda kawasan Jogja dan sekitarnya semakin meramaikan berita kesemrawutan Negara kita. Tentunya dibutuhkan banyak dana untuk membantu para korban bencana. Tapi lagi-lagi gerak lamban yang ada di pemerintahan kita yang menambah sulit keadaan para korban. Bahkan para relawan dadakan lah yang lebih banyak turut campur membantu para korban. Contohnya saja, seperti pada berita yang saya baca beberapa minggu yang lalu, tukang parkir, petani, dan para buruh lah yang membantu para korban bencana merapi untuk mendirikan ‘rumah’ baru untuk mereka. Mungkin para petinggi kita hanya menyalurkan bantuan berupa uang. Tetapi mereka tidak memikirkan siapa yang akan mewujudkan bantuan tersebut. Ketika ditanyai, para relawan ‘dadakan’ itu mengaku kalau mereka tulus melakukannya. Mereka ingin membantu, tetapi mereka hanya memiliki tenaga dan bukan materi. Menurut sudut pandang saya, bantuan dari orang-orang seperti merekalah yang jauh lebih berharga. Dari situlah saya bisa mengambil kesimpulan, bahwa ternyata kepedulian antar sesama di Indonesia masih ada. Terutama di daerah-daerah seperti itu.
Belum selesai kita berbicara tentang bencana, negara kita kembali diributkan dengan ulah Gayus Tambunan. Mulai dari pengakuannya yang bisa keluar masuk sel dengan mudah, pembuatan paspor palsunya, sengketanya dengan Denny, sampai putusan hakim yang sebenarnya kurang adil. Belajar dari kasus ini kita bisa melihat betapa bobroknya moral orang-orang di Indonesia. Berawal dari kasus yang dilaporkan lewat surat pembaca, polisi yang dengan mudahnya menerima uang suap, samapi hakim yang memberikan putusan ‘tidak adil’ karena alasan yang ‘kurang jelas’. Karena terlalu banyak ditutup-tutupi, kasus ini menimbulkan spekulasi besar di kalangan rakyat menengah ke bawah. Sisi lain dari kasus ini adalah munculnya Bona yang menciptakan lagu ‘ jika aku Gayus Tambunan.’ Ini seperti intermezo bagi rakyat Indonesia yang jenuh dengan kasus Gayus Tambunan. Salut sekali dengan Bona yang sangat berani muncul membawa lagu tersebut, meski akhirnya dia diteror. Inilah letak keanehannya. Masih banyak sekali pihak yang melindungi orang yang jelas-jelas bersalah.
Lantas mengenai bapak presiden yang mengeluhkan soal gajinya. Sungguh pemandangan yang memilukan ketika seorang presiden yang mengeluh kepada rakyatnya dalam situasi seperti ini. Banyak sekali rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tetapi seorang presiden yang seharusnya menjadi tempat mengeluh atau tempat bersandar rakyat malahan mengeluhkan hal yang sebenarnya sangat sepele. Saya sempat berpikir ketika mendengar berita tersebut, jika gaji menjadi seorang presiden itu ‘hanya’ sedikit, mengapa tidak mengundurkan diri saja dari jabatan presiden dan berganti pekerjaan yang bisa menghasilkan uang lebih banyak?
Setelah mendengar berita tersebut, saya langsung mencari-cari berita tentang presiden. Dan saya membaca sebuah artikel yang mengatakan bahwa presiden Indonesia menempati urutan ketiga di dunia sebagai presiden yang memiliki kesenjangan gaji tertinggi dengan pendapatan perkapita negara. Sungguh miris dan memalukan. Apalagi hari ini saya juga mendengar berita bahwa gaji presiden dan pejabat Negara akan naik sekitar sepuluh persen. Jika gaji bersih presiden 62 juta, maka akan menjadi 68,2 juta perbulan. Bukan angka yang kecil jika dikalikan dengan jumlah pejabat tinggi Negara. Bayangkan saja jika uang tersebut dikumpulkan dan digunakan untuk membiayai anak-anak yang kekurangan gizi di Indonesia atau mungkin untuk membuka sekolah-sekolah yang berkompeten yang bermanfaat bagi masa depan bangsa. Kita bisa mulai menekan angka kematian anak dengan ‘sedikit’ uang yang terkumpul tadi. Tapi jalan pemikiran rakyat kecil memang berbeda dengan jalan pemikiran para petinggi Negara. Kalau begini caranya, Indonesia benar-benar dalam kondisi yang benar-benar merosot tajam. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Cornelia Juwita Cintya  Dewi (terinspirasi dari KOMPAS)
25-01-11        
    

Komentar

Postingan Populer